Rabu, 02 Desember 2009

Memperbaiki mutu pendidikan dan mental siswa Indonesia

Seorang siswi umur 17 tahun, sebutlah namanya Iis, yang tercantum sebagai murid sebuah sekolah menengah ternama di Banten ditemukan meninggal dunia dengan cara meloncat dari gedung sekolahnya. Peristiwa ini terjadi akibat ia tahu bahwa ia tidak lulus dari UN periode tahun 2006. Kisah tragis lain adalah sekelompok siswa yang dinyatakan tidak lulus UN yang rela membakar gedung sekolahnya sendiri dengan beringas sebagai bentuk kekesalan terhadap ketidaklulusan mereka melalui Ujian Nasional. Peristiwa yang terjadi diatas adalah suatu bentuk kekecewaan beberapa murid dari sekolah-sekolah di Indonesia yang dinyatakan tidak lulus UN oleh pemerintah.

Baru-baru ini kita digembar-gemborkan masalah UN yang katanya oleh pemerintah tidak diberlakukan lagi alias dihapus dari sistem pendidikan Indonesia. Malahan ada sebagian guru yang akibat kegembiraannya, meluapkan kesenagannya dengan mengadakan kegiatan syukuran bersama guru dan siswa yang lain. Namun, kabar terkahir adalah bahwa putusan dari Mahkamah Agung menyatakan surat yang diberikan ternyata tidak disetujui, karena dirasa akan memperlemah dan merubah sistem pendidikan yang selama ini telah dipakai. Mengetahui hal ini pastilah akan menimbulkan kekecewaan dari para guru dan siswa yang menjadi objek atau sasaran UN yang dilaksanakan pemerintah.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan sistem pendidikan kita. Apakah pemerintah dan Menteri Pendidikan sebagai penentu kebijakan yang salah mengatur sikap dan kebijakan pendidikan di Indonesia. Ataukah SDM dan anak didik kita yang belum siap menanggapi dan menghadapi tekanan kebijakan UN yang diselenggarakan pemerintah. Kita sebagai bangsa Indonesia seharusnya memikirkan cara yang terbaik baik putra putri kita agar kedepan mereka menganggap UN adalah sebuah motivasi belajar atau anugrah dan bukan sebagai bentuk musibah. Tak seharusnya UN diberlakukan dengan hanya satu kali ujian saja. Namun juga di berikan penilaian terhadap prestasi akademiknya selama tiga tahun. Janganlah pemerintah dengan seenaknya menyelenggrakan UN dengan sekehendak hatinya sendiri tanpa memiliki prespektif terhadap mental dan psikologi anak. Jika hal itu tidak dilakukan, maka hal ini pastilah menimbulkan ketidakadilan bagi siswa yang merasakan sendiri akibat dari UN yang dibentuk oleh pemerintah untuk dijadikan standart kelulusan siswa.

Untuk pemerintah sendiri sudah seharusnya memberikan perkembangan mutu pendidikan yang baik kepada sekolah negeri maupun swasta. Penigkatan mutu trsebut dapat melalui peningkatan mutu guru dan kesejahteraanya, mutu siswa dengan proses pembelajaran dan kurikulum yang sesuai dengan kemampuan siswa. Serta pemberian fasilitas, sarana dan prasarana yang menunjang proses kegitan belajar mengajar di sekolah. Kita telah mengetahui bahwa disetiap daerah mempunyai kompetensi dan mutu pembelajaran yang berbeda-beda dan sudah seharusnya pemerintah harus berkaca diri dan menilik kembali apakah standar kelulusan tersebut pantas diberlakkan secara nasional atau tidak. Jika memang harus dilakukan seperti itu, sitem yang telah ada haruslah dirubah dan diperbaiki kembali.

Untuk guru dan siswa yang dijadikan objek UN, perlu ada perbaikan sikap mental dan moral melalui pendidikan. Bagaimana tidak, jika banyak mental dari para siswa yang karena tidak lulus ujian saja sudah berani berindak anarkhi dan diluar batas rasional manusia. Memang sedih hati dan tertekan apabila dinyatakan anak yang dicap tak lulus sekolah. Namun hal itu perlu dijadikan acuan untuk kedepan bersikap lebih cermat dan tepat dalam memperoleh solusi supaya dapat lulus lagi ditahun depan. Disini diperlukan kesadaran yang tinggi serta perlu pendidikan emosional dan spiritual siswa dari kalangan pendidik dan bahkan jika diperlukan psikolog yang handal untuk melakukan tindakan preventif guna mengurangi tingkat depresi akibat tidak lulus UN.